KEABSAHAN PERNIKAHAN
Petuah mengatakan : “ Lelaki sejati ialah lelaki yang mampu menjaga pandanganya terhadap wanita yang bukan mahramnya serta menjaga dirinya dan kesucianya untuk wanita yang ditakdirkan untuknya nanti. Wanita yang baik adalah wanita yang menjaga mahkotanya untuk jodoh yang di halalkan untuknya".
Pernikahan atau perkawinan merupakan sebuah ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana hubungan keduanya
disahkan melalui ikrar Ijab dan Kabul. Adanya suatu pernikahan tentu nya ada suatu
untuk melengkapi yaitu rukun dan syarat pernikahan, rukun dan syarat merupakan
unsur yang harus dipenuhi yang menjadikan keabsahan suatu ibadah. Pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 di katakan bahwa " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya".
Dalam Agama Islam pernikahan merupakan bentuk pemenuhan dan pelaksanaan perintah agama, sunnah rosul dan tujuan lain dari pernikahan adalah sebagai tanda berlanjutnya sebuah garis keturunan,ketenangan, kedamaian dan dengan pernikahan dapat mengeratkan tali persaudaran antar sesama umat muslim antar keluluarga maupun masyarakat.
Menurut pendapat Abdul Hamid Hakim yang di
namakan rukun adalah sesuatu yang bergantung pada sah dan tidaknya suatu
pekerjaan atau ibadah yang termasuk dalam rangkaian pekerjaan atau ibadah
tersebut. Syarat menurut pendapat Wahbah Al-Zuhaili ialah sesuatu yang mesti
ada tetapi sesuatu tersebut tidak masuk dalam rangkaian pekerjaan atau ibadah,
jadi sesuatu ini disiapkan sebelum melakukan ibadah tersebut. Keduanya menjadi
syarat sah nya sebuah pekerjaan atau ibadah.
Pengertian rukun pernikahan sendiri adalah suatu
unsur yang ada di dalam pernikahan tersebut, yang apabila tidak dilaksanakan
salah satu nya maka pernikahan itu tidak sah seperti Ijab dan Kabul. Sedangkan
syarat pernikahan adalah suatu hal yang harus di lakukan dan dipersiapkan
sebelum melakukan rukun pernikahan tersebut, contohnya adanya calon pengantin
pria dan wanita yang harus sama agama nya.
Rukun pernikahan yang disepakati oleh Jumhur
Ulama terdiri dari: (1).adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan atau pernikahan, (2).adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
(3). Adanya dua orang saksi, dan (4). Sighat atau ijab dan kabul. Adapun
menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) rukun pernikahan harus ada: calon
suami, calon istri, wali nikah, dua saksi, dan Sighat (Ijab dan Kabul).
Adapun pendapat dari madzhab Hanafiyah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah mengenai rukun pernikahan. Menurut ulama Hanafiyah,
rukun pernikahan hanya Ijab dan Kabul. Sedangkan menurut ulama Malikiyah rukun
pernikahan meliputi wali dari calon istri, mahar, calon suami, calon istri, dan
Sighat (ijab dan kabul). Ulama Syafi’iyah mendefinisikan rukun
pernikahan terdiri dari calon suami, calon istri, wali, dua saksi, dan Sighat
(Ijab dan Kabul). Jadi dapat di simpulkan bahwa terpenuhi nya suatu rukun
adalah penentu dari sah dan tidaknya suatu ibadah, maka dari itu perlu nya
pemahaman dan cara agar terpenuhi nya rukun.
Jika dilihat rukun pernikahan yang utama
adalah Sighat (Ijab dan Kabul), adapun syarat Ijab dan kabul yaitu: (1).
Pihak-pihak yang melakukan akad sudah mumayyis, (2). Bersatu nya majelis Ijab
dan Kabul, (3). kesesuaian antara Ijab dan Kabul, dan (4). Pihak yang melakukan
akad mendengar secara jelas dan memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang
disampaikan masing-masing pihak. Adapun menurut imam Hanafi dan Hambali saksi
ijab dan kabul boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan, dan menurut
Imam Hanafi juga di bolehkan saksi itu dua orang buta atau dua orang fasik
(tidak adil).
Syarat Ijab dan Kabul pernikahan dilangsungkan
oleh wali dari pihak mempelai perempuan atau wakil nya, saat Ijab dan Kabul
wajib dengan menggunakan lisan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 27
disebutkan bahwa ” Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus
jelas beruntun dan tidak berselang waktu”. Sedangkan bagi orang bisu atau tuna
wicara sah saja pernikahan nya (Ijab dan Kabul) dengan menggunakan bahasa
isyarat bagi laki-laki ketika mengucap kabul yang kemudian di terjemahkan oleh
kakak kandung nya sendiri. Adapun pasal dalam KHI yaitu pasal 17 ayat 3
menyebutkan bahwa ”Bagi calon mempelai yang menderita tunawicara atau tunarungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti”,
dalam Ijab dan kabul memakai kata-kata nikah, tazwij, adapun dalam KHI
pasal 29 ayat 3 yang menjelaskan mengenai Kabul.
Syarat calon mempelai pria dan wanita meliputi:
jelas identitas nya, Islam, tidak ada halangan untuk menikah, setuju untuk
menikah, dan mencapai usia yang layak untuk menikah, secara rinci syarat calon
mempelai pria yaitu: (1). Beragama Islam, (2). Bukan mahram dari calon istri
dan jelas halal kawin dengan calon istri atau mempelai wanita, (3). Terang atau
jelas identitas nya, (4)Orang di ketahui dan tertentu, (5). Calon mempelai pria
tahu atau kenal dengan calon istri serta tahu calon istri halal bagi nya, (6).
Calon mempelai pria tidak terpaksa untuk melakukan perkawinan, (7). Tidak sedang
melakukan Ihram, (8) Tidak mempunyai Istri yang haram dimadu dengan calon Istri,
dan (9). Tidak sedang mempunyai Istri empat. Sedangkan syarat calon mempelai
wanita atau istri yaitu: (1). Beragama Islam atau Ahli Kitab, (2). Tidak ada
halangan atau larangan untuk menikah, (3). Jelas (bukan Khuntsa atau
banci), (4). Wanita itu jelas orangnya, (5). Tidak dipaksa, dan (6). Tidak sedang
Ihram, Haji atau Umroh.
Mengenai legalnya usia untuk menikah juga di cantumkan pada pasal 6 Undang-undang perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua jika melangsungkan pernikahan. Pada pasal 7 UUP ayat 2 di jelaskan adanya dispensasi nikah dapat di minta pada pengadilan atau pejabat yang di mintakan oleh orang tua pihak pria atau wanita dengan alasan sangat mendesak di sertai bukti yang cukup, dispensasi ini diminta jika ada penyimpangan atas ayat 1 yang di mana di jelaskan bahwa perkawinan diizinkan apabila umur pria dan wanita sudah mencapai 19 tahun. Disebut dengan pernikahan apabila terjadi antara pria dengan wanita, hal ini di jelaskan oleh pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dimana di jelaskan bahwa ”Pada dasarnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
Wali nikah ada bermacam-macam ada wali nasab,
wali mu’thiq, dan wali hakim, sedangkan menurut Jumhur ulama ada wali qarib (ayah
dan kakek) dan wali ab’ad (kerabat jauh) seseorang boleh menjadi wali apabila
ia merdeka, berakal, dewasa, dan harus beragama Islam. Sebab jika wali nya
tidak beragama Islam maka tidak boleh menjadi wali nikah nya orang Islam.
Adapun wali mujbir bisa menikahkan seseorang bila memenuhi syarat meliputi: (1).
tidak ada permusuhan antara mujbir dengan mempelai wanita, (2).pria yang
dipilihkan sekufu dengan mempelai wanita, (3). Antara kedua mempelai tidak ada
permusuhan, (4). Mahar tidak kurang dari mahar mitsil, dan (5).pria yang
dipilihkan mujbir adalah pria yang bertanggung jawab. Wewenang wali nasab dapat
berpindah ke wali hakim jika, ada pertentangan diantara wali jika wali nasab
tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin menghadirkan nya atau tidak di ketahui
tempat tinggal nya atau enggan.
Untuk saksi disebutkan dalam KHI pasal 25
bahwa ” yang dapat di tunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu atau tuli”.
Aminnudin, S.A. (1999). Fiqh Munakahat 1. Bandung: Cv.
Pustaka Setia.
Ghofur Anshori, A. (2011). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta:
UII Press Yogyakarta.
Hamid, Abdul Hakim. (1976). Mabadi Awwaliyah. Jakarta:
Cet. 1 Bulan Bintang.
Mardani.
(2016). Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Ed. 1, Cet.1. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Prof. Dr.
H. Abdul Rahman Ghazaly. (2019). Fiqh Munakahat. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia, Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
(Suarabaya; Arloka), 15.
Komentar
Posting Komentar